Berkaitan kebahagiaan manusia di dunia maupun akhirat, Islam mengajarkan untuk senantiasa mengetahui hal-hal yang bermanfaat. Allah Azza wa Jalla memberikan kita akal dan kebutuhan dasar berfikir untuk memahami mana yang bermanfaat mana tidak berfaedah. Bahkan jika dihadapkan pada kenyataan, mengambil manfaat kita tunda demi menolak mudharat.
Seorang Ulama terkemuka, Imam Malik meriwayatkan dari Muhammad bin Abu Bakar menyatakan, “Saya menemui manusia yang tidak takjub pada kata perkataan. Meraka takjub pada amalan nyata.” Sekedar wacana, rencana perkataan tidak lebih baik tanpa dibuktikan dalam tindakan nyata.
Konsep kebermanfaatan sangat penting. Jika sesuatu belum dipastikan apa dan bagaimana manfaatnya menghindarinya lebih baik. Ilmu yang tidak bermanfaat misalnya, yang hanya berisi wacana kosong, perdebatan tanpa ujung dan tidak menambah keimanan.
Para ulama ketika mendapat suatu pertanyaan selalu memastikan apakah ini benar terjadi. Jika benar, maka akan dijelaskan dengan ilmu. Jika tidak, “Sebaiknya Anda tinggalkan sampai benar-benar terjadi” jawabnya. Membahas masalah yang tidak terjadi dan belum ada sama sekali ini termasuk unfaedah.
Hari ini kita dihadapkan pilihan-pilihan hidup yang banyak. Seharusnya prinsip dalam memilih, yang paling bermanfaat. Menambah keimanan, memperkuat pemahaman, memperbanyak amal ibadah dan memperluas jaringan kebaikan. Jika tidak, meninggalkan hal yang sia-sia jauh lebih baik.
Dorongan Keimanan
Semangat menebar manfaat seharusnya sebanding dengan ilmu dan pemahaman. Kita mengetahui keutamaan dan paling penting karena dorongan tauhid yang benar. Kebaikan apapun yang kita lakukan domainnya iman. Inilah yang membedakan orang beriman dan selainnya.
Semua agama mengajarkan kebaikan tidak lantas membuat kita menyimpulkan bahwa semua agama sama. Esensi dari agama adalah tauhid. Konsep Ketuhanan setiap agama berbeda sehingga konsep kebaikan pastinya tidak sama. Jadi kebaikan yang kita lakukan asalnya sebagai pembuktian keimanan.
Kita melakukan amal ibadah dengan harapan setiap kebaikan akan diganjar pahala. Kita mengharapkan dari Allah apa yang mereka tidak harapkan. Jika tidak beriman, sebanyak apapun kebaikan tidak akan mendapatkan pahala, syaratnya belum terpenuhi.
Keimanan adalah prinsip utama dalam segala kebaikan. Pandangan hidup Islam berbeda dengan selainnya. Semisal ada orang yang semangat memberi manfaat tetapi dibalik itu punya tujuan tertentu. Menginginkan hal yang sifatnya materi. Tujuan yang bernarasi no free lunch sangat erat akan materialisme, kapitalisme.
Memberi manfaat, semata mengharapkan ridha Allah. Mengharapkan pahala dari setiap kebaikan jika kita ikhlas melakukannya. Sebagai pendidik misalnya, mengajarkan ilmu termasuk kebaikan yang bermanfaat. Berapa kali lipat kebaikan yang kita dapatkan jika ilmu yang diajarkan terus diamalkan? Dibanding dengan hanya karena imbalan materi semata.
Mendapat imbalan materi atau tidak, seorang guru tetap mengajarkan kebaikan. Besaran gaji tidak menjadi ukuran keikhlasan. Justru keikhlasan itulah yang menambah pahala lebih banyak. Menjadi pendidik memang haruslah menjadi pejuang bukan tukang ajar bayaran.
Memberi manfaat adalah akhlak yang mulia dan ruang amal kebaikan. Amal jariyah mempunyai pahala sampai unlimited sebab manfaatnya yang berkesinambungan. Ilmu akan terus tumbuh juga karena manfaatnya.
Orang tua yang membimbing anaknya, guru yang mengajar, tidak ada kado yang terindah kecuali do’a-do’a kebaikan dari mereka. Atau manfaat itu dalam bentuk sedekah untuk faqir miskin, donasi kepada orang-orang yang terdampak dan itu sudah membantu kebaikan di dunia ini.
Sebaik-Baik Manusia
Setiap kita tentu ingin menjadi yang terbaik di bidangnya masing-masing. Menebar manfaat tidaklah ditentukan latarbelakang, pendidikan, status sosial. Setiap kita bisa memberi manfaat dalam arti peluang setiap orang sama.
“Manusia yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya” kata Nabi Shallallahu ‘ Alaihi Wasallam. Jadilah manusia yang terbaik dengan manfaat yang kita tebarkan. Dengan karya nyata pada hati manusia. Dan orang yang paling dekat mendapatkan manfaat itu adalah keluarga. Sebagaimana Rasulullah adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Keluarga yang paling merasakan manfaatnya.
“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (Terjemahan QS. At-Tahrim: 6). Imam Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini dalam Kitab Tafsirnya, bahwa Ali bin Abi Thalib memaknai perintah Allah ini dengan “addibūhum wa ‘allimūhum (didiklah mereka agar beradab dan ajari mereka ilmu).
Memberi manfaat dimulai dari keluarga. Orang tua yang mentarbiyah anaknya menjadi pejuang dengan menjadi guru terbaiknya. Mendidik dengan adab yang baik untuk memuliakan ulama dan semangat menuntut ilmu. Menjadikan sekolah dan guru terbaiknya ada di rumah.
Hal ini bisa dibuktikan, suatu keberhasilan dalam mendidik ketika setiap anak merasakan manfaat kebaikan keluarganya. Ini pula menjawab, mengapa sebagian anak-anak tidak betah di rumah. Jangan sampai kekeringan manfaat dari keluarganya. Pemenuhan kebutuhan tidak hanya sebatas materi jasmani. Ada yang lebih mendasar pada jiwa, akal dan rohani.
Jika manfaat itu dimulai dari keluarga, akan menyebar pada lingkungan yang kondusif, masyarakat yang aman tenteram. Yang bermanfaat pasti selalu dinantikan. Dan jika sebagai anak juga akan membalas segala kebaikan orang tua dengan segenap manfaat.
Ujian Keimanan di Saat Pandemi
Keimanan tidak cukup dibuktikan hanya melalui lembaran-lembaran soal ujian. Namun dibentuk dari pemahaman ilmu dan juga pengamalan ibadah dalam menjawab soal-soal kehidupan.
Membuktikan keimanan seseorang dilihat bagaimana akhlaknya. Rasulullah diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia. Manusia yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya. Akhlak menjadi cermin yang menunjukkan kesempurnaan iman.
Ihtimam orang beriman terhadap saudaranya ibarat satu tubuh. Ikatan yang menyatukan satu sama lainnya adalah kebermanfaatan. Konsep sejahtera tidak sebatas pribadi, bagaimana lingkup sekitar juga sejahtera. Kita menebar manfaat kepada siapapun karena iman adalah rahmatan lil’alamin. Apalagi disaat pandemi keimanan kita semakin diuji.
Inilah saatnya membuktikan kesempurnaan iman kita. Memberi manfaat kepada orang yang paling membutuhkan kebaikan dari kita. Seberapa besar sumbangsih kita pada peradaban. Apa yang kita lakukan sudah bermanfaat atau tidak.
Menjadikan Manfaat Bagian dari Akhlak
Akhlak tidak sekedar karakter, prilaku. Dari akar kata akhlak ada kata khaliq (pencipta) dan makhluk (ciptaan). Akhlak merupakan sesuatu yang melekat pada diri dan menjadi kepribadian seseorang. Dilakukan tanpa harus melalui proses berfikir panjang. “Akhlak adalah suatu keadaan jiwa, yang dengannya manusia melakukan suatu perbuatan” Kata Ibnu al- Haitsam “tanpa pertimbangan dan tanpa memilih-milih.”
Menurut Ibn Miskawaih, “Khuluq merupakan suatu keadaan jiwa. Keadaan ini menyebabkan seorang bertindak tanpa dipikir atau dipertimbangkan secara mendalam.” Singkatnya, akhlak merupakan bagian dari seseorang bukan sesuatu yang sifatnya insidentil ataupun melalui proses berfikir panjang.
Seseorang membantu orang lain dapat dikatakan perbuatan baik tetapi belum bisa disebut akhlak. Bisa jadi ia bersedekah karena menjadi trend masa pandemi di kalangan elit. Atau dijadikan konten untuk mencuri perhatian khalayak ramai. Urusan niat menjadi paling rahasia penentu dari setiap amal kebaikan.
Ini bisa disaksikan setelah pandemi usai, apakah dia masih gemar bersedekah atau tidak. Jika bersedekah telah menjadi bagian dari akhlaknya, dalam kondisi apapun tetap dilakukan. “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit” (Terjemahan QS. Ali Imran: 134).
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah orang yang paling gemar bersedekah, bahkan lebih kencang seperti angin. Karena menjadi akhlaknya maka dilakukan sepanjang waktu. Yang perlu kita syukuri pula di negeri ini, antusias masyarakat untuk bersedekah maupun berdonasi di saat pandemi, bahkan disebut meningkat setidaknya ini dibuktiukan melalui survey lembaga Internasional.
Jika menebar manfaat menjadi akhlak dari setiap orang niscaya lemahlah keburukan itu. Semangat menebar manfaat seharusnya sejalan dengan upaya menegakkan kebenaran. Karena manfaat akan melahirkan kebaikan yang mendalam.[]
Baca juga: Pelihara Spirit Kebaikan Dengan Terus Menebar Manfaat
Oleh: Muhammad Scilta Riska, S.H. (Mahasiswa Program Kuliah Kepakaran Khusus At-Taqwa College Depok)